Penulis buku ini mengingatkan kita bahwa kekuatan politik bisa menyatukan, namun bisa pula memporakporandakan semangat toleransi. Di sinilah pentingnya nilai nilai kultural masyarakat sebagai platform terbaik membangun semangat toleransi itu. Dengan kata lain, toleransi dapat berkembang apabila disertai sikap menghargai kearifan lokal, sebuah warisan budaya yang merupakan inner energy yang powerfull, yang dengannya banyak persoalan sehari-hari bisa diselesaikan. Kearifan lokal bahkan bekerja tatkala terjadi ketegangan di antara para anggota BPUPKI dalam menetapkan dasar negara. Kta tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya tidak terjadi kata sepakat kala itu. Mungkin negara Indonesia tidak terwujud. Namun, sekali lagi, kearifan lokal bekerja.
Para pendiri bangsa telah mengajarkan kepada kita bahwa untuk bisa saling mengerti dan memahami, diperlukan dialog yang didasari prasangka baik. Memang, jalan ini tidak mudah. Tetapi dengan dialog terus-menerus, bisa dibangun komunikasi yang intensif dalam rangka menekan egoisme kelompok dan memupuk semangat solidaritas. Aneka ragam bentuk solidaritas itu harus saling melilit dalam ikatan yang kuat, seperti sebuah tali tambang, dalam rangka mengejar tujuan yang lebih agung, yakni harkat dan martabat manusia seutuhnya. Manusia yang bermanfaat bagi manusia dan alam semesta. Manusia yang mensejahterakan bumi. Mungkin di situlah makna hakiki dari Bhinneka Tunggal lka.
Penulis buku ini lalu menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat Indonesia, Pancasilalah yang menjadi ikatan pemersatu. Tetapi ini juga harus diletakkan secara relatif, karena ada kesadaran sebagai sesama umat Islam yang bersifat lintas negara. Di atas itu, masih ada kesadaran sesama umat manusia.
Belum ada ulasan.